Thursday, October 11, 2007

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnyadengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dinihari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidakbaik, pagi hari hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karenaanak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitubaru tidak akan lapar seharian di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan nbadan menyikat panci, setiappanci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seincidemi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempattidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kakitelanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.

Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.

Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalumenyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.

Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan,setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masihmengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak,ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anakuntuk berpretasi dalam pelajaran.

Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.

Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia mahabesar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik,dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangisterisak secara diam diam di sudut halaman.

Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakankepedihan yang dijalani dalam perkawinan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaandalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknyamereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupanperkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuhdalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yangbaik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar.

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secaraperlahan -lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjagakeutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengansungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinyajuga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu,dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuhhati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia.

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suamisaya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!

Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih adaseparoh lantai lagi yang belum di pel ?

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yangsangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibujuga kerap berkata begitu sama ayah.

Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligusmengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.

Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

Yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, danteringat akan ayah saya... Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang diainginkan dalam perkawinannya,

Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.

Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalammempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih,namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintaiayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumahtangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.

Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengahmelangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidakdiiringi dengan perkawinan yang bahagia.

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain peldi atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?

Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikittidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitukau bisa menemaniku! ujar suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, adayang mencuci pakianmu....dan saya mengatakan sekaligus serentetanhal-hal yang dibutuhkannya.

Semua itu tidak penting-lah!ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalahkau bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benarmembuat saya terkejut. Kami meneruskan menikamti kebutuhanmasing-masing, dan baru saya sadariternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kamimemiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya carapihak kedua.

Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, danmeletakkanya di atas meja buku, begitu juga dengan suamiku, dia jugamenderetkan sebuah daftarkebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktusenggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalausempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.

Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akanmerasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.

Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya padasaya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurutsampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun,jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kamiini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh dayahidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancangperjalanan keluar kota.

Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami,setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisamenghibur gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaankami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merahperkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yangsaling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telahmenghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanyaakhirnya melangkah ke jalan bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, merekaterlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua,bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapatmerasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati inijuga sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiaporang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkancara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihakkedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yangbaik, pasti dapat diharapkan.

No comments: